Posts

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Ditulis di  Tangerang, 13 April 2023 Halo Gallivanter ! Hendak pergi kemana kamu bulan ini? Tebak apa? Baik The Alchemist dan kaos Arctic Monkeys, keduanya masih bertengger manis di kamar saya. Kalau kamu bertanya, “kok bisa?” saya juga bingung bagaimana menjawabnya. Beberapa hari lalu saya bertemu kamu, dalam kondisi kepala yang ingin pecah dan hampir gila. Terlalu banyak hal yang membebani saya akhir-akhir ini. Sebenarnya banyak pikiran yang ingin saya tukarkan, tetapi sepertinya kamu tidak akan tertarik, dan saya juga terlalu takut untuk memulainya. Hari itu banyak hal baru yang saya ketahui dari kamu: bahwa kamu ingin sekolah film, bahwa kamu mampu menegakkan tiang agama di tengah-tengah kesibukan (yang mungkin bagi banyak orang di sekitar kita, merupakan hal yang sangat sulit, meskipun sebenarnya kewajiban), bahwa kamu juga suka menulis, dan bahwa kamu memiliki pacar! Rasanya seperti naik roller-coaster, karena saya menemukan satu lagi hal yang mungkin sama-sama kita sukai: me...

Letters That Were Never Sent (Part 2)

Ditulis di  Tangerang, 24 Februari 2023 Halo Gallivanter ! Sudah hampir 4 bulan sejak saya menulis ucapan ulang tahunmu, tetapi The Alchemist masih setia bertandang di rak buku kamar saya, seakan meronta-ronta ingin diserahkan kepada pemilik yang seharusnya. Tak terhitung berapa kali saya membaca ulang tulisan saya, mengambil buku itu dan memasukkan nya ke dalam tas, lalu mengeluarkannya dan meletakkannya kembali ke dalam rak. Kadang saya bingung, terlalu banyak hal-hal kontradiktif dalam diri saya. Seperti mengapa saya bisa berani membantah perintah orang tua tetapi takut memberikan hadiah kepada kamu saja? Ada hal yang menarik beberapa bulan ini, jika kamu membaca tulisan saya sebelumnya (yang mungkin juga tidak akan pernah kamu baca, karena saya terlalu takut menyampaikannya), ternyata ramalan itu benar terwujud. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tetapi banyak orang datang menemui saya untuk berolahraga bersama. Terima kasih Rai! Saya berdoa semoga suatu saat kamu mau menyaksikan...

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Ditulis di  Tangerang, 22 Oktober 2022 Halo Gallivanter ! Saya lebih suka memanggilmu gallivanter daripada traveler , karena saya rasa makna nya lebih tepat untuk menggambarkan ‘kamu’. Benar, kamu tidak salah baca, saya memang menambahkan tanda kutip satu di awal dan akhir kata ‘kamu’, karena ‘kamu’ yang saya kenal selama ini adalah apa yang kamu pilih untuk tampilkan. Apakah ‘kamu’ adalah kamu yang sebenarnya? Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, ‘kamu’ telah berhasil membuat saya menulis ini. Omong-omong, ini makna gallivanting menurut Cambridge Dictionary: /ˈɡæl·əˌvænt/ to visit or go to a lot of different places, enjoying yourself and having few worries or responsibilities. Nah, sekarang kamu paham kan mengapa saya memanggilmu dengan sebutan itu? Saya tidak takut menulis panjang-panjang, karena saya yakin kamu suka membaca, dan pasti akan membaca tulisan ini sampai kalimat terakhir. Tulisan ini saya tulis di malam hari ulang tahunmu dan saya tidak tahu apakah saya punya keberania...

Katamu

Katamu, Kemarin aku biru Kau tabrak dengan gelapnya ungu Tertawaku disamakan dengan kangguru Asalkan waktu kubunuh berdua denganmu Katamu, Hari ini aku jingga Kau timpa dengan seterang nila Air mata turun berlomba-lomba Memaksamu mengeluarkan sepatah kata Katamu, Esok hari aku coklat Kau balas dengan hitam pekat Serapah menghujani dadamu hingga berat Hanya karena tubuh yang sedang penat Katamu, Lusa kemudian aku abu-abu Ditemani kau yang merah jambu Aku bisu seperti batu Menerima egois jadi nama lainku Kataku, Aku tak tahu warnamu Tak mampu sebut kurangmu Ketika kau lihat aku adalah warna Bagiku setiap hari kau seindah pelangi senja —Lian "Aku hanya ingin bersamamu saja."

Untuk Laki-Laki yang Tak Pernah Ada Dalam Pelukan

Kamu lebih suka kutulisi apa? Puisi atau prosa? Dengan jujur atau dusta? Bagiku keduanya sama saja Sama-sama sulit untukku merangkai kata Tak seperti biasa Ketika aku mengolah diksi dengan lancarnya --- Andai Danilla adalah aku Mungkin kau sudah membukakan pintu Maka hatiku tak harus pilu Menebak-nebak apa isi kepalamu Andai perempuan itu adalah aku Mungkin kelak kau akan pakai batik ke rumahku Maka aku tak perlu banyak-banyak rindu Berharap berpapasan denganmu di depan pintu --- Kau terlalu indah untuk dilihat Nasihatmu dapat menghilangkan segala penat Ceritamu membuatku penasaran hebat Teduhmu mampu menghilangkan beban berat Tapi, aku takut bilang suka! Nanti malah kau tanyai apa parameternya Lagipula untuk apa Kita juga tak akan bersama --- Hey, jangan terlalu baik! Nanti aku panik! Disini masih banyak perempuan cantik Aku tak mau jumlah sainganku naik Dan jangan terlalu pintar! Bicaramu dapat membuat hati berg...

Aku Tidak Pernah Menangis

Aku tidak pernah menangis. Mungkin sekali, sewaktu aku baru saja terbebas dari rahim ibuku dan hendak menghirup oksigen di bumi untuk pertama kalinya. Namun, aku dapat menjamin setelah hari itu aku tidak pernah, dan tidak akan pernah menangis. Lagipula, hal seperti apa yang dapat membuat seorang dengan kehidupan sepertiku meneteskan air mata? Tetapi, nyatanya kalimat-kalimat di atas tidak lagi berlaku. Tidak, sampai aku melihat kabut pada kedua matamu kala itu. Saat kau berusaha untuk tertawa, sambil menyembunyikan lebam di lengan kirimu. "Tapi, aku mencintainya." Kau selalu mengatakannya, berulang-ulang kali di depanku. Seakan tak peduli bahwa ia tidak hanya menyiksa jiwamu, tetapi juga tubuh indahmu. Oh, demi Tuhan, apa yang kau cari dari laki-laki seperti itu? Laki-laki yang kerap memaki-makimu hingga lupa diri, sebelum akhirnya meninggalkanmu tanda biru di tangan dan kaki. Laki-laki yang bukannya mendukungmu untuk menggapai mimpi dan berkembang, tetapi s...

The Unspoken Words

Tuk tuk. Aku mengetuk layar tabletku dua kali. Tiba-tiba muncul wajahnya yang sedang tersenyum jahil dalam tampilan aplikasi video call. Lalu tidak sampai tiga detik, suara khasnya terdengar membuka percakapan. "Halo!" 'Hai, Ferdinan Barasa.' "Oh yang benar saja! Berhentilah merengut seperti itu, kau sangat jelek." 'Aku kesal hari ini.' Tawanya yang ramah dan hangat itu kemudian memenuhi seluruh ruang di telingaku. "Baiklah aku minta maaf. Yah, walaupun aku sudah melakukannya tadi, tapi sekali lagi maafkan aku ya?" 'Iya. Aku sudah memaafkanmu berkali-kali.' "Jadi, bagaimana harimu?" 'Aku kesal pada orang-orang yang merekam vokalis yang sedang bernyanyi saat menyaksikan konser secara langsung. Apalagi hanya untuk di upload di Instagram Story. Maksudku, jika pada akhirnya mereka tetap menonton dari layar ponsel, untuk apa mereka datang kesana? Bukankah sama saja dengan melihat video klipnya di Youtu...