Aku Tidak Pernah Menangis

Aku tidak pernah menangis.

Mungkin sekali, sewaktu aku baru saja terbebas dari rahim ibuku dan hendak menghirup oksigen di bumi untuk pertama kalinya.

Namun, aku dapat menjamin setelah hari itu aku tidak pernah, dan tidak akan pernah menangis.

Lagipula, hal seperti apa yang dapat membuat seorang dengan kehidupan sepertiku meneteskan air mata?

Tetapi, nyatanya kalimat-kalimat di atas tidak lagi berlaku.

Tidak, sampai aku melihat kabut pada kedua matamu kala itu. Saat kau berusaha untuk tertawa, sambil menyembunyikan lebam di lengan kirimu.

"Tapi, aku mencintainya."

Kau selalu mengatakannya, berulang-ulang kali di depanku. Seakan tak peduli bahwa ia tidak hanya menyiksa jiwamu, tetapi juga tubuh indahmu. Oh, demi Tuhan, apa yang kau cari dari laki-laki seperti itu?

Laki-laki yang kerap memaki-makimu hingga lupa diri, sebelum akhirnya meninggalkanmu tanda biru di tangan dan kaki.

Laki-laki yang bukannya mendukungmu untuk menggapai mimpi dan berkembang, tetapi selalu membatasi dan mengurungmu di dalam kandang.

Aku terlalu muak untuk menahan sendu. Menunggu sesuatu yang jelas tidak ingin ditunggu. Menyayangi seseorang yang seakan menolak untuk disayangi. Mengapa kau tidak pernah menyadari cintaku yang jelas-jelas akan membawamu ke bahagia yang abadi?

Hingga akhirnya kata-kata itu seakan meluncur saja dari mulut hinaku,

'Aku jauh lebih mencintaimu.'

---

Wajahmu yang sedih berubah menjadi pucat pasi. Suara tawamu yang dipaksakan berubah menjadi hela nafas ketakutan.

Kau meninggalkan aku sendiri di bilik toilet sambil bergumam pelan,

"Tapi.... Kita sama-sama perempuan."

—Lian
"Semua orang berhak menikmati cinta, tak terkecuali kaum seperti mereka."

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?