Letters That Were Never Sent (Part 3)

Ditulis di Tangerang, 13 April 2023



Halo Gallivanter!


Hendak pergi kemana kamu bulan ini?


Tebak apa? Baik The Alchemist dan kaos Arctic Monkeys, keduanya masih bertengger manis di kamar saya. Kalau kamu bertanya, “kok bisa?” saya juga bingung bagaimana menjawabnya.


Beberapa hari lalu saya bertemu kamu, dalam kondisi kepala yang ingin pecah dan hampir gila. Terlalu banyak hal yang membebani saya akhir-akhir ini. Sebenarnya banyak pikiran yang ingin saya tukarkan, tetapi sepertinya kamu tidak akan tertarik, dan saya juga terlalu takut untuk memulainya. Hari itu banyak hal baru yang saya ketahui dari kamu: bahwa kamu ingin sekolah film, bahwa kamu mampu menegakkan tiang agama di tengah-tengah kesibukan (yang mungkin bagi banyak orang di sekitar kita, merupakan hal yang sangat sulit, meskipun sebenarnya kewajiban), bahwa kamu juga suka menulis, dan bahwa kamu memiliki pacar!


Rasanya seperti naik roller-coaster, karena saya menemukan satu lagi hal yang mungkin sama-sama kita sukai: menulis. Lalu, ingatan saya kembali ke beberapa bulan lalu, ketika kamu mengirimkan form feedback kepada saya untuk ADA APA, dan memilih untuk menggunakan “Sila” daripada “Silakan”. Orang yang tidak suka membaca dan menulis, mungkin tidak akan pernah menggunakan kata “Sila”, dan heran nya mengapa saya baru sadar sekarang?


Namun, fakta yang terakhir mungkin sedikit menimbulkan rasa aneh di dalam dada saya. Mengapa saya bilang aneh? Karena saya tidak seharusnya merasakannya, toh saya tidak menyukaimu dalam konteks seperti itu. Bagaimana mungkin saya menyukai seseorang yang bahkan tidak saya kenal sama sekali? Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kamu hanya menampilkan hal yang kamu ingin tampilkan kepada khalayak, kepada saya. Saya tidak pernah tau apa yang ada di balik ‘kamu’.


Lagipula, jika boleh mengutip kata-kata Sal Priadi: “Aku tahu kamu lahir dari cantik utuh cahaya rembulan. Sedang aku dari badai marah riuh dan berisik.”, tampaknya kalimat tersebut sudah mewakilkan.


Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 11.50 malam hari, dan saya merasa bahwa saya perlu mengakhiri semua tulisan dan segala hadiah impromptu ini. Meskipun saya tidak pernah berharap kamu akan menerimanya, karena bisa saja kamu merasa semua ini menjijikan dan menyeramkan. Atau bahkan mungkin semuanya tidak akan pernah sampai kepadamu, karena saya terlalu payah dan tidak memiliki keberanian untuk memberikannya. Namun satu hal yang pasti, sekarang ada orang yang mungkin akan tersakiti karenanya.


Dan berhubung sebentar lagi hari raya Idul Fitri telah tiba,

Selamat Hari Raya, Rai!

Saya minta maaf jika perilaku saya, tulisan-tulisan saya, beserta hadiah yang tiba bersamanya mengganggumu dan membuatmu mengernyitkan dahi ketika menerimanya.

Andaikata love language yang selalu dijadikan alibi oleh orang-orang banyak itu benar, maka mungkin milik saya adalah menerima dan memberikan hadiah.


Jika hari itu kamu tidak mempublikasikan tentang asyiknya bersepeda jauh, mungkin saya tidak pernah mencapai 75 KM pertama saya.


Jika hari itu kamu tidak mempublikasikan perjalananmu ke Sembalun, mungkin saya tidak pernah mampu bercerita tentang olahraga ini, dan membuat 100 orang datang untuk berolahraga bersama saya.


Jika saya tidak pernah tidak sengaja membuka profil Instagram mu, membaca tiap-tiap caption dari fotomu, mungkin saya tidak akan pernah menulis lagi.


Jika saya tidak pernah bertemu denganmu di samping lapangan kala itu, mungkin saya tidak akan pernah berani bilang ke leader saya bahwa saya tetap ingin keluar dari kantor ini, meskipun pada akhirnya tetap tinggal.


You deserve all good things in this world, Rai!

I really do hope that you’re happy!


:)

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Letters That Were Never Sent (Part 2)