Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?

Masih teringat jelas di benak saya, ketika pertama kali diminta untuk mengajukan laporan pertanggungjawaban dari program kerja perdana yang telah diamanahkan kepada saya kepada birokrasi, ketika saya terdaftar sebagai pengurus suatu organisasi. Organisasi tersebut adalah organisasi pertama yang saya ikuti sebagai mahasiswa, yang berarti kali pertama pula saya membuat laporan pertanggungjawaban.

“Ini saya sudah rekap dan nota-notanya sudah saya tempel, Mbak. Sisanya Rp 1.000.000,- dari total anggaran yang sudah dicairkan.“
“Oh, tetap kamu LPJ-kan sesuai dengan jumlah yang dicairkan saja ya. Pakai nota-nota kosong aja, kamu isi sendiri.”
“Maksudnya dipalsukan, Mbak?”
“Iya. Nanti setelah diterima sisa uangnya kalau bisa diberikan ke saya ya. Untuk tambahan program kerja yang lain.”
“Memang kalau berbohong tidak apa-apa, Mbak?”
“Ya habis mau gimana, daripada tidak diterima.”

Dan semenjak saat itu, saya baru menyadari kalau lingkaran setan ini benar-benar ada. Suatu perilaku yang secara tidak sengaja membentuk karakter mahasiswa menjadi seorang koruptor sejak dini.
Bagi teman-teman yang sering dipercaya untuk menjadi bendahara umum suatu kegiatan atau organisasi, pasti sangat akrab dengan fenomena tersebut. Terbiasa untuk “berbohong” demi diterimanya suatu laporan pertanggungjawaban. Kejadian yang saya ceritakan di atas hanya merupakan salah satu contoh saja. Masih banyak kebohongan-kebohongan kecil yang sering terpaksa dilakukan seorang bendahara umum, seperti:
1. Melebihkan nominal pengajuan anggaran dana dari nominal yang sebenarnya dibutuhkan.
2. Memakai nota palsu atau nota kosong untuk mempertanggungjawabkan sisa uang yang belum terpakai.
3. Tidak mempertanggungjawabkan seluruh pengeluaran secara jujur, dengan kata lain: ada beberapa pengeluaran yang tidak dilaporkan dan diganti dengan pengeluaran lain atau nota kosong.

Nah, jika ditinjau lebih lanjut ada beberapa hal yang mendasari terjadinya perilaku-perilaku di atas, yaitu:
1. Kurangnya pemasukan dana untuk keberlangsungan program kerja-program kerja organisasi.
2. Sulitnya sistem dan syarat-syarat dari birokrasi dalam penerimaan laporan pertanggungjawaban. Sebagai contoh: syarat nota yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, metode pembelian yang bisa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Masalah ini merupakan masalah yang turun-temurun, yang bahkan sering tidak dianggap sebagai suatu masalah. Karena orang-orang yang melakukannya telah terbiasa dan terpaksa untuk mengikutinya demi kenyamanan bersama. Apalagi, orang-orang yang lebih senior dalam hal ini memang mengajarkan kepada juniornya bahwa hal tersebut lumrah dan wajar untuk dilakukan. Tidak memungkiri, bahkan birokrasi sendiri pun seperti “menyarankan” para pengaju dana untuk memalsukan laporan pertanggungjawaban mereka, agar kegiatan keuangan dapat berjalan lancar. Ya pada intinya, kita dan birokrasi dalam kondisi sama-sama butuh, lalu menghalalkan segala cara untuk terselesaikannya suatu laporan pertanggungjawaban. Nah, jika keadaannya seperti ini siapa yang patut disalahkan?

Sebagai mahasiswa, kita diajarkan untuk tidak mengkritik tanpa memberikan solusi dan perubahan. Maka dari itu, mungkin ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir “korupsi kecil” kita di atas. Karena, untuk menghilangkannya secara langsung tentu tidak memungkinkan karena hal tersebut secara tidak langsung telah tumbuh menjadi karakter. Namun, akan lebih baik jika kita sebagai mahasiswa yang sering mengeluh bahkan berdemo untuk menciduk Setya Novanto dapat berkaca lebih dahulu dan peka terhadap hal-hal kecil seperti ini. Ada beberapa langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan untuk mengurangi hal tersebut, diantaranya:

Pertama, biasakan untuk mencari informasi terlebih dahulu mengenai sistem LPJ yang telah diberlakukan, sebagai contoh: nota-nota seperti apa yang diterima? apakah boleh nota print atau harus nota tulis? pembelian apa yang tidak dapat diterima? apakah uang bensin dapat diganti? apakah pembelian online dapat diterima? dan sebagainya.

Kedua, lakukan survey terlebih dahulu ke toko-toko yang memiliki nota yang sesuai dan dapat diterima. Hal ini memudahkan kita untuk menyusun anggaran dana yang real, dan dapat mencegah kita dari anggaran dana yang khayal alias kira-kira.

Selanjutnya, ajukan rencana anggaran dana ideal, bukan anggaran dana kaya. Agar ketika di ACC oleh birokrasi, range nominal yang dicairkan berkisar antara dana miskin sampai dana ideal. Sehingga meminimalisir kelebihan dana yang mengharuskan kita untuk memalsukan nota.

Tips lainnya, jangan hanya mengandalkan uang dari birokrasi saja untuk keberlangsungan suatu program kerja atau organisasi. Usahakan mengajukan kerjasama dengan perusahaan, mencari sponsor, membuka toko atau berwirausaha, dan sebagainya.

“Bisa sih, tapi... Tapi... Tapi...”

Jika tidak mulai untuk jujur dari sekarang, lalu mau mulai dari kapan? Bagaimana bisa kita berkomentar jika belum mencoba? Apakah tidak malu mengajarkan kebohongan terus menerus kepada generasi selanjutnya? Saya memang pernah berbohong juga terkait masalah ini, tetapi setidaknya saya berusaha untuk meminimalisirnya hingga benar-benar berhenti. Semoga kamu juga ya 

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Letters That Were Never Sent (Part 2)