Setuju atau Tidak Itu Urusanmu

“Menurutmu mengapa harus ada kolom agama di dalam Kartu Tanda Penduduk?”

Bening hampir tersedak potongan kecil kentang goreng yang baru saja dibelinya di Kafeteria ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh lawan bicaranya itu. Ia terbatuk-batuk lalu meneguk sebotol air mineral, sebelum akhirnya menimpali lawan bicaranya.

“Pertanyaanmu selalu aneh-aneh, Li. Tak bisakah kamu menerima satu hal saja dengan lapang dada, tanpa perlu bertanya bagaimana asal-usulnya?”

Lia, lawan bicara Bening saat ini, yang juga merupakan teman baik Bening, mengernyitkan dahi sambil mengikat ulang rambutnya yang hampir lepas. Lia memang sangat suka melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang jarang terpikirkan oleh orang-orang seusia mereka, sampai-sampai terkadang Bening lelah untuk menanggapinya. Seperti sekarang, disaat kepala Bening masih mendidih akibat soal-soal kuis Akuntansi Biaya yang baru saja ia selesaikan setengah jam lalu, Lia kembali menanyakan satu dari pertanyaan-pertanyaan ajaibnya yang membuat Bening semakin pusing.

“Sebagai mahasiswa kita harus kritis, Ning! Orang-orang yang berpikiran sepertimu, adalah orang-orang yang selamanya akan menjadi pengikut. Coba saja kalau sejak dahulu nenek moyang kita bersengkokol untuk berkata kepada anak cucunya, bahwa mereka turut andil dalam perang bintang dengan alien untuk memperebutkan bumi. Lalu, kau akan percaya saja tanpa mencari kebenarannya? Pantas saja kalau....”

Bening menyerah. Ia tahu Lia akan meneruskan seluruh ocehannya tentang awal mula terbentuknya alam semesta yang menurutnya dapat dijelaskan dengan sains, konsep ketuhanan yang baginya sangat irrelevan, dan sederet postulat-postulat tentang kehidupan lainnya. Bening yakin itu akan membuatnya kepalanya semakin berat, maka ia memutuskan untuk menyerah dan menanggapi pertanyaan Lia dengan sikap yang terlihat lebih antusias.

“Baiklah, baiklah jangan diteruskan. Kita kembali ke pertanyaanmu tadi. Aku tidak tahu, Li. Apa pendapatmu?”

Sementara yang bertanya kini tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Lia sangat senang karena Bening benar-benar tahu apa yang diinginkannya. Memang, selama ini Bening selalu mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut Lia, yang rasional maupun tidak. Bening kerapkali membuat Lia yakin bahwa ia adalah teman diskusi yang baik. Tak hanya itu, bahkan dunia dan pendapat Bening terkadang dapat menjadi sumber inspirasi tulisan-tulisan yang dibuat oleh Lia. Maka, sebagai gantinya Lia tak pernah absen menyaksikan setiap pertunjukan-pertunjukan teater yang memiliki Bening sebagai aktornya.

“Menurutku kolom agama itu tidak perlu, Bening. Tidak penting. Lagipula, apa korelasinya antara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan keyakinan yang dimiliki seseorang? Bukankah hukum tidak memandang bulu siapapun?”

“Kamu lupa dengan sila pertama Pancasila? Negara kita adalah negara yang mengakui Tuhan, meskipun bukan negara agama. Masa harus aku jelaskan tentang eksistensi Pancasila di Indonesia?”

“Aku tidak melarang masyarakat Indonesia memeluk agama. Aku hanya mempertanyakan, apakah perlu agama menjadi konsumsi publik? Apa gunanya dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk? Jika kamu seorang Buddha, maka kamu akan dapat tiket gratis masuk Dunia Fantasi atau sebaliknya? Kan, rasis!”

“Li... Li... Pemikiranmu terlalu bergantung pada tupoksi. Idealis. Konsumsi publik? Bahkan kadang agama saja dijadikan kepentingan komersil. Kamu tidak ingat akun-akun Line@ yang alih-alih menyebarkan dakwah atau pengetahuan agama, lalu membuka promosi usaha berbayar?”

“Ah... Benar! Tak salah kan aku membencinya? Sekat-sekat yang dibuat manusia karena mementingkan keegoisannya sendiri.”

“Yang salah bukan agamanya, Li. Orangnya.”

“Tipikal.”

“Terserahmu.”

Bening meneguk kembali sisa air mineral di botolnya, kemudian memberikannya kepada Lia. Tak sampai dua detik, Lia langsung meraih botol itu dan menghabiskan isinya. Beberapa saat kemudian, Bening membuka tas ransel milik Lia, tangan kanannya masuk ke dalam tas untuk mencari sesuatu, tetapi yang dicari tidak dapat ditemukannya. Bening terlihat sangat panik, sementara Lian hanya diam tidak bereaksi sambil asyik memakan keripik singkong sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Melihat kawannya tampak tenang, Bening pun gusar.

“Li, mana obatmu?”

“Di lokerku.”

“Ah... Sudah pukul dua siang! Waktunya kamu minum obat. Li, kalau begini terus kamu bisa...”

“Bisa apa? Mati?”

“Kamu sendiri yang mengatakannya. Aku tidak berniat mengatakan itu.”

“Sudahlah, Ning. Aku tahu aku akan mati dan aku lelah meminum pil-pil laknat itu. Lebih baik kita membicarakan hal yang lebih berguna. Seperti... Sampai dimana kita tadi? Ah, iya! Kolom agama! Bagaimana bagaimana?”

Bening menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya. Rasa-rasanya ia ingin bangun lalu menggeret Lia pulang saat itu juga, dan tidak akan meninggalkan gadis itu hingga ia melihat Lia meminum apa yang ia sebut pil-pil laknat itu dengan mata kepalanya sendiri. Namun, tentu saja hal tersebut tidak akan Bening lakukan karena itu sama saja menyakiti Lia dengan lebih hebat. Dan menyakiti Lia lebih hebat sama saja menyiksa dirinya sendiri. Mereka, Bening dan Lia, memang memiliki presepsi yang berbeda tentang hidup. Bagi Bening, hidup adalah kuantitas, tetapi bagi Lia, hidup adalah kualitas. Bening menginginkan Lia untuk hidup lebih lama, dan akan melakukan apapun untuk mewujudkan hal itu. Sementara Lia, Lia tidak pernah berusaha untuk memperpanjang usia hidupnya lebih dari yang dokter katakan, Lia hanya ingin mengisi sisa-sisa umurnya dengan hal yang menurutnya berkualitas. Mengobrol dengan Bening adalah salah satunya.

“Mungkin saja kolom agama di KTP dibuat hanya untuk diketahui saja, Li. Simpelnya begini, jika seseorang berbeda kepercayaan denganku, aku tidak akan mengajaknya beribadah dengan cara yang sama denganku, bukan? Dan jika seseorang memiliki kepercayaan yang sama denganku, aku juga tidak akan ragu untuk mengucapkan Selamat Natal atau Paskah juga. Nah, salah satu cara untuk mengetahui agama orang lain kan bisa dengan melihat KTPnya.”

“Ah yang benar saja! Kamu berkenalan dengan seseorang, lalu kamu memintanya untuk menunjukkan KTPnya?”

“Jangan ditelan mentah-mentah, bodoh. Orang sepertimu bisa berpikir tolol juga ternyata, Li.”

“Dasar menyebalkan! Lalu, bagaimana jika orang tidak memiliki agama? Atau kepercayaan yang dianutnya di luar dari enam agama yang diakui oleh negara ini? Apa yang akan ia tulis di KTPnya? Atau lebih baik dikosongkan saja?”

“Li, aku tahu akhir dari percakapan ini.”

“Sejak kapan kamu bisa meramal?”

Bening tersenyum sambil mengacak-acak rambut Lia. Lia mungkin tidak pernah sadar, Bening mengenalnya lebih baik daripada Bening mengenal seni teater. Bening tahu Lia tidak akan pernah menyerah sebelum mendapatkan fakta yang dapat membuat argumennya terpatahkan. Dan benar saja, Lia kemudian membuat kesimpulan sendiri karena Bening tidak memberikan jawaban yang membuatnya puas.

“Tidak, tidak. Aku bercanda tadi.”

“Bilang saja tidak bisa jawab! Sudah kubilang kan, kolom agama itu tak penting. Nah, karena tidak penting, sekarang aku akan pergi ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk menghapus nya.”

“Hah? Disdukcapil maksudmu?”

“Tepat sekali!”

“KTPmu kan KTP Tangerang, Li! Disdukcapil Tangerang kan jauh sekali dari sini, Li!”

“Dan maka dari itu aku harus cepat, karena sebentar lagi tutup! Aku berangkat sekarang. Sampai bertemu lagi, Bening!”

Lia segera memasukkan dompet dan ponsel ke dalam tas ranselnya, lalu buru-buru pergi sebelum Bening sempat mencegahnya. Bening menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menunduk untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas. Anak itu, sahutnya dalam hati. Kemudian, ia berjalan perlahan menuju parkiran motor dan seketika ponselnya berbunyi nada pesan masuk.

Halo Bening, maaf tante mengganggu. Minta tolong ingetin Lian untuk minum obatnya ya. Kemarin lagi sering kambuh dan dosisnya ditambah oleh dokter, jadi tidak boleh lupa lagi. Terima kasih banyak, Ning! Tuhan berkati.

Bening sempat mematung selama tiga puluh detik setelah membaca pesan tersebut, lalu berlari ke Laboratorium Metalurgi untuk mengambil obat milik Lia di dalam lokernya. Setelah mendapatkan obat itu, Bening segera kembali ke parkiran motor sambil berusaha menghubungi ponsel Lia yang tidak kunjung diangkat. Ah, sialan! Bangsat!, umpatnya dalam hati. Bening bersumpah akan menjambak rambut anak itu ketika bertemu nanti, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat kepadanya.

Li, kamu dimana?
Di jalan. Jangan telepon, kita tidak tahu kapan copet datang. Nanti ponselku diambil. Kenapa?
Obatmu! Ibumu bahkan bilang padaku untuk mengingatkanmu!
Tidak mau.
Kamu dimana?
Tidak mau beri tahu dan tidak mau minum obat. Tidak sebelum kamu punya alasan logis kenapa kolom agama tetap harus dipertahankan dalam KTP.
Kepala batu! Aku jalan ke Disdukcapil.

Sepeda motor dengan merk KLX milik Bening berjalan meninggalkan parkiran dengan kecepatan sangat tinggi. Berkali-kali Bening mengutuki dirinya sendiri karena tidak lebih keras pada Lia agar segera meminum obatnya tadi. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Bagaimana jika ia kambuh di bis kota? Siapa yang akan menolongnya? Bagaimana jika ia jatuh dan tak sadarkan diri di jalan? Lalu, ia bersumpah tidak akan memaafkan dirinya sendiri sampai terjadi sesuatu pada Lian. Ia tampak begitu kalut. Sebegitu kalutnya, hingga ia tidak melihat truk dengan kecepatan lebih tinggi dari kecepatan sepeda motornya melaju dari arah berlawanan. Bening tak mampu mengendalikan kendaraan yang dinaikinya, sehingga badannya harus terlempar seratus meter ke kanan jalan. Helm yang dikenakannya terlepas sehingga kepalanya mengeluarkan darah sangat banyak saat terbentur jalanan berbalut aspal. Sebegitu kalutnya Bening, memikirkan Lia.

---------------
Lia berlari sangat cepat menyusuri pelataran gedung rumah sakit bercat putih dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. Hatinya tak berhenti berdebar sejak ponsel Bening menghubunginya lebih dari lima kali, yang dijawabnya pada panggilan ke sepuluh, tiga puluh menit lalu. Ia kemudian berteriak histeris ketika menyadari bahwa suara di ujung telepon bukanlah suara Bening melainkan suara seorang perempuan yang menjelaskan bahwa Bening telah dibawa ke Instalasi Gawat Darurat.
Tangisan Lia semakin meledak ketika melihat Bening terkapar di tempat tidur yang terletak di sudut ruangan. Kepala Bening masih mengeluarkan darah, padahal dokter telah berusaha menghentikannya dengan memasangkan perban yang mengelilingi kepalanya. Seorang perawat menghampiri Lia dan bertanya apakah Lia adalah keluarganya, lalu memintanya untuk segera mengurus administrasi setelah menemui Bening, karena tindakan lanjut tidak akan dapat dilakukan jika identitas pasien belum diketahui. Lia mengangguk lalu berjalan meninggalkan perawat itu dan berhenti di sebelah tempat tidur Bening.

“Bening, maafkan aku.”

“Iya. Aku tidak apa-apa. Cengeng sekali kamu.”

“Bisa-bisanya, Ning. Ini salahku! Kalau saja aku mengangkat teleponmu lebih cepat! Kamu benar aku memang kepala batu, maafkan aku. Seharusnya aku...”

“Li... Sudahlah. Tidak apa-apa.”

Bening ingin sekali mengangkat tangannya untuk menghapus air mata teman baiknya itu, tetapi tangannya terasa sangat berat dan masih memar akibat luka-luka. Sementara itu, tangisan Lia semakin keras sehingga Bening mulai berbicara lagi untuk meredakan tangisnya.

“Li, sekarang aku tahu mengapa kolom agama harus diperatahankan dalam KTP! Tidakkah kau ingin mendengarkannya?”

Lia menghentikan tangisannya. Mukanya kemudian memerah karena kesal. Ditatapnya kedua mata Bening, nada bicaranya meninggi.

“Bodohnya kau, Ning! Masih saja memikirkan hal itu. Tolol! Apa? Kau mau bilang apa?”

Bening tertawa renyah sambil menahan sakit pada kepalanya, kemudian ia melanjutkan perkataannya.

“Li, ketika kita menemukan seseorang yang kritis dan akhirnya meninggal karena kecelakaan di jalan atau di daerah yang bukan asalnya, dalam posisi kita belum mengetahui siapa sanak saudaranya, dengan tata cara seperti apa kita harus mengurus jenazahnya jika kita tidak mengetahui apa agamanya? Nah, semua orang membawa dompet, dan di dalam dompet ada KTP.”

“Demi semua hal yang ada di bumi dan di alam semesta, Bening! Itu tidak lagi penting!”

“Penting bagiku, Li. Bagaimana? Apakah jawabanku bisa kamu terima?”

Sesungguhnya Lian hendak membuka mulut dan menanggapi pernyataan yang Bening kemukakan, mengingat ia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawaban logis yang sesuai dengan fakta. Namun, kali ini ia mengurungkan niatnya dan mengangguk.

“Nah, kalau gitu sudah terjawab kan? Sekarang Lia minum obatnya ya.”


Lia mengangguk sekali lagi dan langsung memeluk Bening sambil tersenyum.

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?