Fighting My Own Battle

Saya pernah menemukan sosok sahabat dalam diri seorang manusia ketika saya berada di titik terendah dalam hidup saya. Sosok tersebut hadir ketika saya sedang terpuruk-terpuruknya, saat ditinggalkan oleh beberapa orang penting dalam hidup saya sebelumnya: mantan pacar, teman-teman satu peer group yang telah memiliki teman-teman baru, hingga orang yang saya anggap sahabat perempuan dalam waktu yang cukup berdekatan.

Ketika menemukan orang ini, hidup saya yang menyedihkan seperti mendapatkan secercah harapan. Namun, hal yang tidak saya pelajari dari kejadian-kejadian sebelumnya adalah tentang menggunakan kepercayaan kepada orang lain. Ya, saya melimpahkan semua kepercayaan saya kepada orang ini, yang ternyata di kemudian hari malah menjadi bumerang bagi diri saya sendiri. Efeknya tidak tanggung-tanggung, saya harus pergi ke psikiater dan psikolog selama 2 bulan karena depresi, gangguan kepribadian, dan percobaan bunuh diri.

Pada awalnya, pertemanan saya dengan orang ini berjalan wajar-wajar saja. Kami sering pergi bersama - sekedar untuk makan, mencari buku, jalan-jalan, beribadah, mengantar pulang, atau bercerita dari hal-hal penting hingga sekedar gosip picisan. Ia suka menemani saya berbelanja, menyempatkan diri untuk hadir ke acara buatan saya, dan melakukan banyak hal dengan saya. Sebagai gantinya, saya sebisa mungkin datang menonton ketika ia bertanding, memberikannya hasil masakan saya yang sedang belajar masak, memberinya hadiah berisi barang kesukaannya. Kami memiliki selera musik yang cukup mirip, keinginan untuk jalan-jalan ke tempat yang sama, dan segelintir kesamaan lainnya. Bisa dibilang, saya telah menceritakan hampir seluruh hidup saya pada orang ini. Dia adalah orang pertama yang akan saya hubungi ketika ban saya bocor di tengah jalan atau saya kelaparan di malam hari dan malas keluar. Sekedar belajar dari pengalaman terdahulu, dimana teman-teman satu peer group saya memiliki teman-teman baru karena saya terlalu sibuk berorganisasi di kampus, maka saya sebisa mungkin selalu meluangkan waktu untuk orang ini, berusaha selalu ada ketika ia membutuhkan, agar dapat menahannya lebih lama dalam hidup saya.

Tetapi, perlu diperhatikan bahwa hubungan kami sangat jauh dari hubungan percintaan. Memang pada suatu masa saya pernah terbawa perasaan karena sifat orang ini yang sangat amat baik dan menyenangkan, tetapi kemudian saya menyadari bahwa hal tersebut hanya akan menjadi bom waktu yang akan membuat saya kehilangannya. Jadi, saya membuang semua hal-hal berbau percintaan dalam hubungan pertemanan kami. Namun, bukan berarti saya tidak menyayanginya. Karena saya sangat amat menyayangi orang ini, sebagai sahabat saya. Sampai-sampai jika mungkin orang ini membutuhkan donor ginjal, saya akan memberikan satu ginjal saya secara cuma-cuma.

Lalu, hal mulai berubah ketika kami mulai tidak sedekat dulu. Entah kenapa, saya menjadi sering sakit, bahkan sakit yang dapat dibilang tidak wajar. Saya mulai berhalusinasi melihat makhluk-makhluk yang hanya bisa dilihat oleh saya sendiri, yang herannya selalu berhubungan dengan orang ini. Saya selalu merasa bahwa makhluk-makhluk tersebut menginginkan orang ini dan tidak menyukai ketika saya dekat dengan orang ini. Hal tersebut diiringi oleh perilaku saya yang bisa dibilang seperti berkepribadian ganda: berbicara yang aneh-aneh hingga berteriak-teriak, mencakar-cakar, memberontak, berbicara meracau, dan sebagainya. Seluruh teman-teman saya mengira saya seperti kesurupan makhluk halus, bahkan sampai memanggil beberapa orang pintar untuk mengeluarkan "makhluk" dari diri saya.

Namun, setelah mempelajarinya, menurut saya hal tersebut merupakan refleksi dari alam bawah sadar saya. Hal ini muncul akibat trauma saya di masa lalu, yaitu karena ditinggalkan oleh orang-orang penting dalam hidup saya (yang telah saya sebutkan dalam paragraf pertama), hingga saya merasa sangat tidak percaya diri dan harus menjadi makhluk lain agar diterima dan tidak ditinggalkan oleh orang ini, yang saat itu menjadi satu-satunya orang yang saya percaya. Sederhananya, saya tidak ingin orang ini meninggalkan saya, maka saya harus menjadi "orang lain" untuk membuatnya tetap tinggal dalam hidup saya.

Mengapa seperti itu?
Karena dengan menjadi diri sendiri, saya merasa ia juga akan melakukan hal yang sama dengan yang lainnya. Sosok-sosok makhluk yang saya yakini saya lihat, merupakan ekspresi ketakutan saya. Saya merasa bahwa banyak makhluk-makhluk lain, atau ancaman, yang akan mengambil orang ini dari saya.

Sayangnya, hal tersebut sepenuhnya dalam kendali alam bawah sadar saya. Sehingga saya tidak bisa mengontrolnya sama sekali. Apalagi penanganan yang salah dari teman-teman di sekeliling saya, yang kurang mengerti.

Tidak berhenti disitu, saya juga sempat mengalami amnesia sebagian - yang kemudian dikenal dengan histeria mayor atau gangguan disosiatif.

Amnesia yang saya derita lagi-lagi sangat aneh, karena saya hanya bisa mengingat orang ini dan melupakan hal-hal lainnya atau sebaliknya, mengingat semua hal kecuali orang ini. Dengan kata lain, orang ini merupakan hal yang menjadi basic trust atau kepercayaan terbesar dalam diri saya, karena disaat saya sangat kacau dan ingin melupakan semua hal, yang ada sebagai penghiburan dan kebahagiaan adalah orang ini.

Saya menjadi sangat ketergantungan kepada orang ini, apalagi karena ia selalu ada ketika saya susah bahkan dalam kondisi sangat terpukul dan selalu berusaha untuk menolong saya. Hal tersebut menambah kepercayaan dan ketergantungan saya dan berefek lebih parah.

Saya selalu ingin memposisikan diri saya menjadi orang yang sakit, karena ketika saya sakit, saya merasa orang ini akan ada disamping saya. Maka, yang terjadi kemudian adalah saya kerapkali berhalusinasi tentang banyak hal, terutama tentang "seseorang" yang selalu ingin mengambil orang ini dari saya. Kepribadian saya menjadi terganggu, bahkan saya tidak dapat membedakan antara kehidupan nyata dan halusinasi. Saya menjadi sering diam seharian penuh, tidak mau makan, menangis menjerit-jerit, melihat makhluk-makhluk disekeliling orang ini, dan ketakutan yang tidak jelas.

Kemudian, ada hal yang sangat aneh terjadi ketika saya mengetahui bahwa orang ini memiliki teman yang cukup dekat, selain saya. Padahal jika dilihat oleh orang normal, dan dilihat oleh diri saya yang sekarang hal tersebut wajar-wajar saja. Memiliki kehidupan di tempat lain, teman-teman yang banyak dan beragam merupakan hal yang umum dan biasa. Sayangnya, diri saya yang sedang runtuh saat itu tidak bisa terima.

Saya mulai menangis setiap hari.

Saya merasa sangat marah dan benci pada diri saya sendiri.

Saya mulai takut untuk bertemu orang lain, saya merasa sangat cemas, takut, sedih, diacuhkan.

Saya kerapkali kehabisan akal dan memukul-mukulkan kepala saya ke ujung meja berkali-kali hingga kepala saya berdarah.

Saya juga mulai melukai diri saya sendiri di tempat yang lain, membuat goresan-goresan menggunakan pisau dan jarum pada tangan saya sendiri.

Saya menangis meraung-raung di satu kesempatan, lalu diam tak mau bersuara di lain kesempatan.

Saya menjadi tempramen dan melemparkan semua barang-barang ke segala arah.

Saya berkali-kali mencoba untuk bunuh diri karena mendengar suara-suara yang menyuruh saya melakukannya.

Saya merasa tidak cukup pantas untuk hidup di dunia, saya merasa menjadi teman yang sangat merepotkan dan kurang baik, saya merasa sangat hina dan payah, saya merasa pantas untuk ditinggalkan.

Saat tersebut adalah saat paling berat untuk saya, saya menolak untuk bertemu orang lain, mengurung diri di kamar, hingga akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan pertemanan dengan orang ini.

Mengapa?
Pertama, saya merasa saya sangat gila dan aneh, yang memberikan orang ini pengalaman yang cukup tidak normal, merepotkannya, dan saya merasa orang ini berhak atas teman yang normal dan hidup yang normal. Kedua, berada di dekat dan satu lingkungan dengan orang ini membuat saya terus mengalami gangguan psikis, halusinasi, bahkan gangguan kepribadian, dan saya ingin sembuh. Ketiga, sebelum orang ini benar-benar meninggalkan saya, saya akan meninggalkannya terlebih dahulu.
-----------------------

Berkat bantuan dari orang tua, psikolog, psikiater, obat-obatan, dan kemauan dari diri saya sendiri, akhirnya saya lebih dapat mengendalikan diri saya sendiri walaupun secara bertahap.

Meskipun berada di dalam satu lingkungan yang mengharuskan saya bertemu dengan orang ini, frekuensi kemunculan "kepribadian" saya yang lain menjadi lebih minimal, walaupun beberapa kali masih muncul: berteriak-teriak, menangis, melempar barang, melukai diri sendiri dan berkeinginan untuk mengakhiri hidup.

Namun, saya percaya untuk sembuh itu butuh proses, dan saya sedang dalam proses tersebut. Saat ini, saya sudah tidak lagi membutuhkan obat-obatan akibat terapi yang telah diberikan, dan hal tersebut merupakan kemajuan yang sangat baik untuk saya.

Sesungguhnya, orang ini adalah orang yang sangat baik dan menyenangkan. Sejak mengenal orang ini, jika masa lalu dan pikiran saya normal seperti sekarang, orang ini merupakan sahabat yang baik. Ia tidak pernah menyakiti sahabatnya, bahkan selalu ada untuk sahabatnya. Hanya saja, mental saya yang tidak bisa menerimanya. Dan saya tidak bisa menyalahkan orang ini atau diri saya sendiri terhadap apa yang telah terjadi. Karena sesuatu yang baik belum tentu baik dan cocok untuk orang lain. Tetapi, setidaknya saya amat sangat bersyukur pernah menjadi sahabatnya.

Saya yakin, saya dan semua orang di dunia ini tidak akan ada yang mau untuk mengalami hal seperti saya. Saya pun tidak menyangka, bahwa sebuah presepsi dan kepercayaan yang diberikan kepada orang lain, kejadian-kejadian kecil di masa lalu, bahkan perilaku kecil yang orang lain lakukan, dapat memiliki efek yang sebegitu besarnya kepada seorang manusia.

Orang-orang yang mengenal saya pasti mengetahui kalau saya sejatinya memiliki cukup teman yang tersebar dimana-mana. Lalu, bagaimana mungkin mental saya bisa menjadi rusak dan kacau hanya karena seseorang?

Angka terbanyak dari alasan bunuh diri seseorang di dunia adalah patah hati karena cinta, siapa yang menyangka bahwa dalam kasus saya ini adalah patah hati karena seorang teman?

Awalnya saya selalu menertawakan orang-orang yang putus cinta lalu merasa hidupnya telah hancur dan berakhir, sampai akhirnya saya menemukan titik terlemah saya sendiri, yang kemudian membuat saya merasakan hal yang sama.

Banyak orang berpendapat dan menganggap hal-hal yang saya lakukan atau orang lain lakukan sebagai respon terhadap suatu kejadian itu berlebihan, tanpa menyadari bahwa batas dan kekuatan manusia dalam menanggapi suatu masalah berbeda-beda.

Tidak perlu memaksa orang lain untuk mengerti, bahkan mungkin orang yang menjadi subjek utama dalam tulisan ini sampai saat ini tidak pernah mengerti apa yang telah terjadi dalam diri saya. Dan menganggap bahwa hal-hal yang telah saya lakukan sangat aneh dan berlebihan. Hingga mungkin merasa jijik dengan saya. Namun, hal tersebut tidak perlu untuk dipikirkan karena saat ini ia sudah bahagia dengan teman-temannya dan hidupnya yang normal, tanpa harus memikirkan temannya yang merepotkan. Sekarang saya percaya, jika memang seseorang ditakdirkan untuk berada dalam hidup orang lain, ia akan ada tanpa kita harus mempertahankannya.

Dan ketika kamu merasa sangat kacau dan merasa depresi, jangan ragu untuk meminta bantuan orang lain, atau yang lebih ahli! Tidak usah pedulikan orang-orang yang mencemooh, karena banyak yang ingin mendengarkanmu! Hidup lebih indah untuk dijalani daripada diakhiri!

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?