Saya Tidak Jatuh Cinta

Saya tidak tahu persis bagaimana cara mendefinisikan penyebab badai dan petir yang menyambar di dalam kepala saya ini.

Namun, yang jelas jika kamu meminta saya untuk menemanimu untuk membeli teh kotak di Indomaret terdekat, saya akan membatalkan semua rapat yang mungkin ada pada menit yang sama.

Dan saya akan berkata dosen saya tidak datang, ketika kamu mengajak saya untuk melihat-lihat buku-buku tua di pinggiran kota.

Jika kelak kamu mengharapkan saya berada di dalam kursi penonton untuk mendukungmu menggiring bola, saya akan dengan senang hati datang ke seluruh pertandingan yang akan kamu lalui, sambil membawakan minuman kesukaanmu.

Dan saya akan berkata saya tidak mengantuk, sekalipun saya belum tidur karena kelelahan menulis laporan, ketika kamu meminta saya untuk tetap terjaga dan mendengarkanmu bercerita.

Saya hanya benar-benar tidak ingin kehilangan kamu. Bukan, ini bukan kisah roman picisan tentang dua insan yang sedang berbunga-bunga. Karena bagiku, menjalin suatu hubungan dengan berlandaskan apa yang mereka sebut “cinta” sejatinya adalah kehilangan yang tertunda. Aku tidak akan mengorbankan sisa waktu dalam hidupku, hanya untuk satu sampai tiga tahun merasakan kebahagiaan yang semu.

Jadi jika suatu saat nanti kamu membaca tulisan ini, ketahuilah bahwa saya tidak tahu sejak kapan saya tak henti-hentinya mengecek layar telepon genggam, menunggu balasan pesan darimu.

Saya tidak tahu sejak kapan saya berangkat lebih pagi ke kampus, hanya untuk memandang ragamu tiga sampai lima menit, sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas menjumpai dunia yang benar-benar tidak saya sukai.

Saya tidak tahu sejak kapan saya sengaja menunggu di pojok ruangan, berpura-pura melakukan sesuatu, sambil berharap kamu mengatakan sepatah dua patah kata kepada saya, atau hanya sekedar menendang kaki saya sambil berlalu.

Saya juga tidak tahu sejak kapan saya berharap janji-janji yang kamu ucapkan dapat kita wujudkan, yang entah mengapa pula saya ingat setiap detailnya.

Janji untuk menemani saya berbelanja, untuk pergi ke tempat impian saya bersama, untuk meraih puncak gunung, untuk menghabiskan hari di dalam bus dan kereta cepat, untuk pergi melihat lampu-lampu kota, atau sekedar makan bubur dan fillet ayam panggang.

Saya bahkan tidak berpikir, bahwa bisa saja janji-janji itu hanya bentuk spontanitas dari percakapan yang terjadi di antara kita dulu, dan yang ingin mewujudkannya hanya saya, bukan kamu, bukan kita.

Ketahuilah, saya tidak ingin tulisan ini berubah menjadi prosa cengeng layaknya perasaan perempuan-perempuan rapuh yang sering kita tertawakan saat senja tiba. Jadi, biarkanlah saya perjelas saja;

Saya tidak cinta kamu.

Tidak.

Dan saya berharap kata “tidak” ini dapat berlaku selamanya.

Karena jika satu-satunya cara untuk tetap memilikimu adalah dengan tidak memilikimu, saya akan mengambil resiko itu.

Untuk tidak pernah jatuh cinta padamu meskipun hanya satu inci, agar kamu tidak akan pernah pergi meninggalkan saya yang hampir mati.

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?