Perihal Merendahkan

“Sumpah Ketua Pelaksana nya Mas X? Udah pasti deh bakal ancur acaranya”

“Duh masa Mbak Y sih yang jadi Ketua Bidang? Dia kan orangnya gitu!”

“Tadinya sih mau daftar, tapi ngelihat Kepala Departemen nya Mas Z jadi males! Gajadi deh!”

“Sumpah ya, Mbak A tuh gak bisa ngapa-ngapain! Gak guna jadi Ketua!”

Kalimat-kalimat di atas tentu terdengar sangat familiar di telinga, bukan? Hampir pada setiap program kerja, rapat, atau saat ngopi-ngopi ringan, pasti ada dua atau tiga orang yang melontarkannya. Rasa tidak percaya terhadap individu memang merupakan hal yang lumrah dan sering terjadi dalam suatu organisasi dan kepanitiaan. 

Hanya saja, akhir-akhir ini saya lebih sering mendengarnya, hingga memutuskan untuk sedikit memberikan tanggapan. Karena yang membuat saya heran, kalimat tersebut tidak hanya keluar dari mulut angkatan termuda, bahkan angkatan yang sudah bangkotan saja masih ada yang berpikiran seperti itu!

Tidak munafik, saya pun pernah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut dulu, sebelum saya disadarkan oleh satu keadaan yang sangat menohok saya. Keadaan yang membuat saya menyimpulkan: “seburuk-buruk apapun orang lain pasti memiliki ‘nilai’ untuk kita.” 

Setiap individu tentu saja memiliki skill-nya masing-masing, hanya saja kapabilitasnya yang berbeda-beda.

Ada yang sangat ahli dalam menyusun konsep, tetapi ada juga yang lebih cocok menjadi pekerja.

Ada yang pandai melobi seluruh lapisan masyarakat, dari birokrasi, senior, hingga satpam, ada pula yang canggung untuk berkomunikasi tetapi punya keahlian lain: membuat website, desain, administrasi, dsb.

Jika dalam suatu kondisi atau keadaan anda merasa bahwa salah satu individu tidak berkapabilitas, menurut saya pendapat anda kurang tepat. Karena individu tersebut hanya tidak berada di tempat yang cocok, tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Lalu, apakah hal tersebut salah? Tentu saja tidak!

Sederhananya seperti ini, setiap individu pasti memiliki alasan dibalik mengambil suatu tanggung jawab, serasional maupun irrasional apapun alasan itu.

Dan kita memang memiliki hak untuk mengkritik keputusan atau kinerja orang lain (dengan kritikan yang membangun dan solutif tentunya, bukan sekedar keluhan-keluhan sampah yang cenderung menyalahkan keadaan), tetapi kita juga perlu untuk sedikit bertanya pada diri sendiri,

“Sudah sehebat apakah kita, hingga merasa lebih berkapabilitas dari yang lainnya? Apakah semua pekerjaan yang kita lakukan sudah tidak ada cacat ataun kendala?”

Saya yakin, beberapa dari orang-orang yang melontarkan kalimat tersebut pasti kapabilitasnya tidak jauh berbeda dari individu yang dikomentarinya. Hanya saja, beberapa orang seringkali merasa lebih superior, karena merasa lebih unggul dalam beberapa hal. Nah lucunya, sebenarnya individu yang mereka komentari memiliki satu nilai lebih tinggi daripada mereka, komentator-komentator yang “berkapabilitas” itu.

Mengapa?

Karena ia berani mengambil tanggung jawabnya! Ia berani menanggung resikonya, meskipun bagi beberapa orang ia dianggap "tidak berkapabilitas".

Nah, sebenarnya pertanyaan sesungguhnya bukanlah “Bisakah anda?”, melainkan “Akankah anda?”

Akankah anda mengambil tanggung jawab itu dan mengambil segala resiko yang akan anda hadapi?


Akankah anda tetap bertahan jika keluhan-keluhan yang anda lontarkan, dilontarkan kembali kepada anda?

Akankah anda?

Tentu saja sebagian besar dari anda akan berpikir-pikir ulang sebelum menerima suatu tanggung jawab bukan?

Idealnya begini, saya tidak akan menyalahkan anda yang tidak percaya kepada beberapa individu, itu hak setiap manusia.

Namun, jika memang anda merasa ada kesalahan atau kejanggalan dalam suatu hal, saya sarankan anda untuk masuk ke dalam hal itu. Bantulah, tutupi kekurangannya dengan kemampuan anda. Bukan malah mencaci maki.

Apa anda tidak mau mengambil resiko? Ya tidak apa-apa. Namun, setidaknya anda tidak perlu mengolok-olok dan berkomentar tanpa solusi. Ingat! Anda tidak disewa menjadi dewan juri.

Malang, 24 April 2017
23.08 PM

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?