Hujan (part 2)

"Badai.. Badai.. Cepat masuk dan berlindung!"

dan aku tak mengindahkannya.

"Apa yang kelak akan kau terima, yang kiranya sepadan dengan segala kebodohan yang kau lakukan kini, wahai makhluk penantang badai?"

dan aku tetap berdiri kokoh menantikan getirnya.

"Jangan terlalu naif, wahai makhluk yang terlalu percaya pada rintik-rintik tangisan langit! Kini, esok, atau seratus tahun dari sekarang surga nya tak akan pernah menjadi surga mu!"

dan bodohnya aku masih percaya akan bahagia.


Tulisan ini ditujukan kepada hujan, 
yang tak hanya membasahi tanah penuh humas,
atau menyuburkan bunga-bunga indah di atas bumiku,

tetapi juga membuatnya tergenang air,
dan membuat tebing-tebing pertahananku longsor,


Tulisan ini ditujukan kepada hujan,
yang terlihat sangat ramah dan mampu kurengkuh,
tetapi kontra dengan realita yang adalah sebaliknya


Karena ketika badai itu datang, aku benar-benar mati. Aku tak bisa membedakan lagi indah dan nestapamu, yang semuanya terlihat seperti warna abu-abu. Terperangkap dalam kedinginan yang [anehnya] menciptakan kenyamanan yang luar biasa. Suatu hal yang tak akan kutemukan dalam hangatnya sinar matahari atau bahkan cerianya warna pelangi.

Padahal tangisnya jatuh untuk semua makhluk, bukan hanya diriku.
Padahal meneteskan air-air adalah kewajibannya, yang bukan hak istimewaku.
Padahal kebahagiaanku hanyalah sedikit bonus, bukan prioritasnya.

Lalu mengapa aku masih tersenyum ketika rambutku basah kuyup karenanya? Atau hidungku terserang flu karena dinginnya? Bodohlah aku.

Tidakkah kamu melihat betapa aku berusaha agar selalu tampak menikmati? Agar kau percaya, bahwa segala yang kau tumpahkan telah dan selalu akan menjadi surgaku. 
Tetapi apa balasmu, Hujan? Kau kirimkan kilat-kilat yang bergemuruh! Kilat-kilat yang masih aku anggap sebagai surgaku.

Tidakkah kamu melihat betapa aku bertahan dalam kedinginan? Aku memang terlalu payah dalam menahan jari-jariku agar tidak menggigil, atau menahan gigi-gigiku agar tidak selalu gemeretak. Tetapi aku berusaha, Hujan! Berusaha menjadi seseorang yang kuat menerima semua siklusmu, hingga kau menyadari bahwa pelangi-pelangi [yang memang sangat cantik] itu tak akan membuatmu bahagia.

Aku tak menyalahkanmu karena semua hal yang memang harus kau lakukan, Hujan. Karena semua hal yang aku keluhkan di atas adalah kewajibanmu. Maka janganlah kau cegah aku, ketika aku menyalahkan diriku sendiri, karena kelancangan dan torehan kata yang kuperbuat. Aku hanya terlalu bahagia kamu mau menjalankan siklusmu, untuk [semua orang termasuk diri..] ku. Jika itu tidak benar adanya, maka biarkanlah tetap kuanggap begitu.

Bukannya aku tidak bahagia, Hujan. Janganlah sekali-kali kau menerka atau membuat postulat seperti itu, karena itu sama sekali tidak benar. Aku sangat bahagia, Hujan. Menemukanmu, merasakan tetes-tetes airmu, tersayat akibat kilat-kilat dan petirmu, rasanya seperti melihat surga. Namun entahlah, aku juga bingung dengan diriku sendiri.




Bolehkah aku meminta tolong sekali saja?

Ya?


Tolong.
Jangan keluarkan aku dari sini, sekalipun aku memohon padamu sampai setengah mati.
Sebab aku telah menyayangi hujanku itu dengan sepenuh hati.

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?