Surat Untuk Merpati

Pernahkah kamu iri pada seekor burung merpati? Bukan karena ia memiliki bulu-bulu yang indah atau kedua sayap yang bisa membawanya terbang, melainkan karena ia adalah seekor burung merpati. Segala hal tentangnya menjadi suatu hal yang indah, menantang, terlihat jinak namun sekejap ia bisa mengepakkan sayapnya dan pergi tanpa kembali lagi.

Aku bertemu burung merpati itu. Meskipun bertemu yang aku maksudkan disini bukanlah suatu pertemuan empat mata dimana kita bisa menjabat tangan satu sama lain sembari berucap kata “Halo.” (meskipun pada akhirnya aku melakukannya). Tetapi aku bahagia. Dan seberapa keraspun aku mencoba untuk mendeskripsikan kata “bahagia” yang kutulis itu, aku rasa kamu atau siapapun tidak akan dapat mengerti arti yang sebenarnya. Karena ini begitu kompleks dan aku belum menemukan diksi yang tepat untuk menggambarkan kata “bahagia” itu.

Burung merpati itu benar-benar seekor burung merpati. Ia merupakan citra-Nya yang indah, dengan kedua sayap di kanan dan kiri, hati yang sedikit keras namun kupercayai memiliki sisi kelembutan yang akan keluar di saat-saat yang tidak terduga, dan gesturnya yang sangat ramah seakan-akan kamu bisa meraihnya dengan sekali rengkuhan tapi tidak. Jangan sesekali berpikir seperti itu, karena ia akan terbang jauh dan tidak akan kembali lagi. Atau apa mungkin hipotesisku ini salah? Apalah arti pendapat seekor anak ayam kecil sepertiku yang iri pada kebebasan burung merpati itu?

Tapi satu hal yang aku rasa tepat untuk mendeskripsikan burung merpati ini. Ia bebas. Ia bisa terbang kemanapun ia mau, dengan sayap nya sendiri dan dengan pikirannya sendiri. Ia bisa terbang setinggi puncak pohon cemara atau setinggi bintang di langit atas keinginannya sendiri. Dan aku iri pada burung itu. Sangat iri. Bagaimana bisa ia begitu bebas, lepas, mengepakkan sayapnya dengan sombongnya dan semua hal yang setengah mati ingin aku keluarkan dan ekspresikan namun tertahan karena pikiran dari diriku sendiri yang menyatakan; aku hanya seekor anak ayam.

Karena pada kenyataannya, aku memang seekor anak ayam. Hidup dalam perkarangan, terkurung oleh pagar-pagar yang mengelilinginya. Makan secukupnya, seakan-akan segalanya tentang kelangsungan hidupku di dunia telah diatur oleh peternak yang memelihara aku. Beruntunglah aku hidup, walaupun dengan kewajiban tertentu. Seperti harus menyumbangkan telur-telurku yang akan aku tetaskan nantinya sebagai balas budi atas kesediaan peternak itu? Atau bahkan dagingku untuk dimakan manusia-manusia yang sangat buas akan rasa lapar?

Aku ingin terbang seperti merpati itu. Kucoba sekali, dua kali, tiga kali namun hasilnya tetap sama. Aku merasa kodratku hanyalah sebatas takdir seekor ayam. Cemoohan ayam-ayam lain dan luka-luka tubuh lah yang aku terima jika aku melakukan hal bodoh lagi seperti kemarin, mencoba memanjat pagar pembatas untuk belajar terbang. Ya, seperti merpati itu. Maka ini lah yang terjadi, kerjaku hanyalah memandangi merpati yang terbang itu. Dengan harapan suatu saat ia akan singgah ke dalam pekarangan ini untuk mengeluarkan sepatah atau dua patah kata tentang rasanya terbang bebas.

Tapi, sudikah aku sedikit bahagia jika ini benar; kalau-kalau saja ia memang mengajakku ikut terbang bersama nya? Karena suatu hari ia benar-benar mengunjungi perkarangan ini, setelah berkali-kali aku berteriak padaNya dengan suara kecilku untuk meminta seekor burung merpati untuk datang. Benar kataku, burung merpati itu memang sehebat “burung merpati” yang ada di dalam pikiranku. Ia membuat aku mengeluarkan, melahirkan, mengutarakan segala hal yang ingin aku lahirkan. Semua hal tentang “terbang” itu, bahkan sampai hal-hal diluar batas-batasku sebagai seekor ayam. Satu hal yang aku dapat dari burung merpati ini, kepercaya dirian. Mengapa kepercaya dirian? Karena dia membuat aku percaya kalau aku melakukan hal yang benar, percaya bahwa aku dapat dan percaya bahwa semuanya baik-baik saja jika aku berpikir sesuatu yang sama sekali tidak boleh aku pikirkan. Ia tak hanya mengajakku terbang, tapi juga menerbangkanku!

Jika boleh mengutip suatu kata-kata mutiara dari Charles Dickens yang berintikan; “Di setiap kehidupan, pasti manusia mempunyai satu hari dimana semua akan berubah.”. Suatu momen yang tiba-tiba mendefinisikan untuk apa manusia hidup, siapa yang akan manusia percaya, dan segala-gala hal yang baru.

I can make it the sun, when I am a planet. I can make it the earth, whereas it was the moon. Because life has been around for too long, and I often feel tired of it. Sometimes I think that I wanted out, but then like lightning. It’s there. It was there and he was all that I ever desired. I ever wished, and I find it so fast that it was insane. So insane, I am up at night wondering how can it be this fast? How? How? How? For God’s sake how? Out of all dove it was “it” that I’ve found? But then again I didn’t care. It’s there and it was enough. I found it, it was really enough.

Tapi. Apakah itu benar? Apakah itu ilusi? Otak kita semacam kumpulan syaraf acak bahkan kadang membingungkan induk semang, yang bahkan membingungkan diri kita sendiri. Karena hal tentang menemukan itu sangat indah. Dan menemukan burung merpati itu indah. Damai.

Tidak. Jangan bayangkan ini adalah tentang kisah-kisah picisan dengan lagu-lagu lama seperti romantisme. Ini bukan tentang itu. Sama sekali bukan.

Ini tentang seekor anak ayam yang sedang lelah dengan kehidupan dalam perkarangan dan menginginkan dirinya memiliki rupa yang indah, dan terbang bebas seperti burung merpati. Keluar dari kotaknya, menyentuh langit luas dan merasakan dinginnya awan. Sampai akhirnya merpati itu benar-benar ada di depan matanya. Lalu, membuat anak ayam itu melahirkan semuanya bahkan hampir titik terlemahnya karena ia percaya. Dan dimanakah pertanyaannya?

Akankah ini berlangsung lama? Ataukah ini hanyalah ilusi semata? Karena tampaknya seekor merpati akan lelah juga mengajarkan seekor ayam untuk terbang dan akhirnya pergi meninggalkannya untuk terbang lagi. Yah, tampaknya seekor ayam ini sudah tau akhir nya. Tapi ia bersyukur karena waktu mengizinkannya untuk “keluar” sebentar.



5 April 2014

Ayamkah aku?

Popular posts from this blog

Letters That Were Never Sent (Part 3)

Letters That Were Never Sent (Part 1)

Laporan Pertanggungjawaban: Edukasi Korupsi Sejak Dini?